Jakarta, ibu kota Indonesia saat ini, yang direncanakan penggantinya adalah Nusantara di Kalimantan Timur, telah mengalami perubahan bentang alam secara besar-besaran dan cepat dalam beberapa dekade terakhir, terutama disebabkan oleh meningkatnya urbanisasi dan perluasan kawasan terbangun. Kota ini telah menjadi kawasan inti bagi kegiatan ekonomi di mana infrastruktur publik dan swasta dibangun, namun pembangunan perkotaan yang besar ini menyisakan satu pertanyaan penting mengenai keberlanjutan yang belum terjawab: Apakah pembangunan perkotaan seperti ini memberikan perhatian yang cukup terhadap lingkungan alam di sekitarnya?
Terdapat asumsi dalam literatur ilmiah tentang Antroposen (yang berfokus pada periode geologi teoretis yang dimulai ketika aktivitas manusia mulai berdampak pada ekosistem bumi) bahwa terdapat kesenjangan besar antara manusia dan alam dalam konteks kehidupan perkotaan. Mengingat pesatnya transformasi fisik dan sosial, penduduk perkotaan tidak lagi dekat dengan alam. Hal ini terlihat jelas di Jakarta, dimana kawasan hijau hanya menempati sebagian kecil ruang di kota yang semakin banyak dikonkretkan. Ada kebutuhan untuk mengintegrasikan kembali ruang hijau publik di Jakarta, sehingga memungkinkan pembangunan perkotaan yang seimbang di tengah ancaman pembangunan kapitalis.
Memperluas ruang hijau publik merupakan solusi jangka panjang untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang semakin mendesak, seperti kenaikan suhu dan memburuknya polusi udara. Kota-kota di Asia Tenggara sedang mengalami peningkatan suhu, terutama pada kuartal kedua tahun 2023. Pada bulan April, suhu di Theinzayet, Myanmar, mencapai 43 derajat Celcius dan mencapai puncaknya pada 42 derajat Celcius di Bangkok, Thailand. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat suhu tertinggi di seluruh Indonesia baru-baru ini sebesar 37,2 derajat Celcius di Ciputat, sebuah kabupaten di Tangsel. Meskipun suhu tersebut tidak setinggi kota-kota lain di Asia Tenggara, kenaikan suhu tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi Indonesia, karena hampir 160 juta orang (58 persen) penduduknya tinggal di perkotaan.
Memburuknya polusi udara telah mempengaruhi kehidupan di wilayah metropolitan Jakarta. Seperti dilansir The Jakarta Post, Indeks Kualitas Udara (AQI) Jakarta berada di angka 157 pada bulan Juni, yang berarti masuk dalam kategori “tidak sehat”. Ada berbagai alasan yang memperburuk polusi udara. Masifnya penggunaan kendaraan pribadi, meningkatnya aktivitas industri dalam radius 100 kilometer dari Jakarta, dan kebiasaan masyarakat perkotaan seperti membakar sampah, semuanya berkontribusi terhadap kualitas udara yang tidak sehat.
Dengan latar belakang ini, pemerintah daerah telah memulai beberapa langkah baru, termasuk elektrifikasi transportasi di Jakarta. Hal ini termasuk mendorong peralihan dari kendaraan bermotor ke kendaraan listrik (EV). Meskipun hal ini dapat menyelesaikan beberapa permasalahan lingkungan dalam jangka panjang, solusi yang lebih cepat diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang ada saat ini. Berinvestasi pada ruang hijau publik adalah salah satu upayanya.
Langkah ini bukanlah hal baru di Jakarta. Pemerintah daerah telah menetapkan proyek perkotaan yang menciptakan ruang hijau publik bagi penduduk perkotaan. Program Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) dimulai pada tahun 2015 untuk menghasilkan ruang hijau publik yang cocok untuk anak dan keluarga yang tinggal di Jakarta. Tujuan utamanya adalah agar masyarakat dapat memanfaatkan ruang di RPTRA untuk melakukan berbagai aktivitas seperti berolahraga, berkumpul, atau sekadar menikmati pemandangan. Pada tahap awal, beberapa RPTRA bahkan mendirikan perpustakaan mini untuk anak-anak membaca buku dan belajar bersama teman-temannya. Semua ini memberikan peluang untuk interaksi dalam komunitas lokal.
Sayangnya, inisiatif ini tidak berkelanjutan. Banyak masyarakat perkotaan di Jakarta yang mengungkapkan bahwa kondisi RPTRA semakin memburuk selama bertahun-tahun. Hal ini termasuk RPTRA Kalijodo yang terkenal, yang sekarang digunakan oleh pengedar narkoba dan untuk kegiatan tidak menyenangkan seperti prostitusi. Banyak fasilitas yang tidak terawat dan rusak. Sekitar 45 RPTRA, atau 14 persen di Jakarta, berada dalam kondisi buruk.
Degradasi RPTRA merupakan suatu pemborosan yang sangat besar karena jika dikelola dengan baik, ruang-ruang tersebut dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Pertama, RPTRA meningkatkan keterhubungan antara alam dan perkotaan, sehingga secara efektif meningkatkan plot rasio hijau (rasio rata-rata ruang hijau per satuan luas tanah) di suatu wilayah. Kedua, RPTRA memberikan manfaat mikro seperti mengisi kembali kadar oksigen dengan kehadiran pepohonan dan mengembangkan ekosistem lokal yang membantu memperbaiki lingkungan secara keseluruhan. Terlebih lagi, RPTRA yang terpelihara dengan baik dapat memberikan pemandangan kota yang indah dan yang terakhir, RPTRA dapat menjadi kawasan kohesi sosial.
Pemerintah daerah harus lebih aktif dalam menjaga ruang hijau publik tersebut. Hal ini dapat memberikan peluang bagi komunitas lokal untuk menggunakan area tersebut untuk bersosialisasi, dan pada gilirannya, masyarakat akan memiliki rasa memiliki yang lebih besar terhadap ruang publik mereka, yang mungkin akan meningkatkan tanggung jawab sosial yang lebih tinggi untuk melindungi dan memelihara ruang hidup bersama tersebut. Seiring berjalannya waktu, hal ini dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan RPTRA, sehingga menjamin keberlanjutannya, kecuali ada alasan politik yang berdampak buruk pada proyek ini. Selain biaya pemeliharaan, yang terpenting adalah memastikan komitmen pemerintah daerah untuk mempertahankan proyek tersebut dengan memastikan adanya anggaran daerah untuk pelestarian ruang hijau publik. Pemantauan dan evaluasi yang baik oleh pemerintah daerah juga diperlukan untuk menjamin tidak adanya penyalahgunaan dana tersebut atau tindakan korupsi lainnya.
Meskipun memulai langkah-langkah baru dapat membantu menyelesaikan permasalahan lingkungan, memanfaatkan dan mengembangkan langkah-langkah yang ada mungkin lebih hemat biaya dan dapat memberikan manfaat bagi lingkungan dan masyarakat. Daripada mengandalkan solusi teknologi tinggi seperti elektrifikasi moda transportasi Jakarta untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan, mungkin lebih bermanfaat jika kita memanfaatkan solusi berbiaya rendah yang sudah ada. Memasukkan kembali alam ke dalam lingkungan perkotaan melalui peremajaan RPTRA dapat menjadi contoh, karena skema ini telah terbukti efektif dalam menyelesaikan beberapa permasalahan perkotaan. Jika berhasil diterapkan, hal ini dapat menimbulkan dampak yang besar, yang mungkin akan memacu inovasi-inovasi baru untuk mengatasi permasalahan lingkungan lainnya di Jakarta.