Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan menerima uang jelang Pemilu 2024 atau dikenal dengan serangan fajar merupakan perilaku koruptif.
Serangan fajar adalah istilah yang digunakan untuk menyebut politik uang menjelang pemilu.
Kepala Bidang Pelaporan KPK Ali Fikri mengatakan hal itu merupakan respons terhadap pernyataan bakal calon presiden (capres) Prabowo Subianto yang menganjurkan masyarakat menerima politik uang karena dianggap uang rakyat.
“Bagi masyarakat, politik uang, seperti bagi-bagi uang dalam proses yang sedang berlangsung ini, merupakan perilaku koruptif,” kata Fikri di Jakarta, Rabu.
Ia menilai menerima uang dalam politik merupakan awal mula terjadinya tindak pidana korupsi. Menurutnya, pihak yang menyalurkan uang itu akan mencari cara untuk mendapatkan kembali modalnya dengan melakukan korupsi.
“Pada akhirnya, berdasarkan kajian dan beberapa kasus yang ditangani KPK, motifnya sama, yaitu untuk mendapatkan kembali modal yang telah digunakan. Saya kira, praktik seperti itu tidak boleh terjadi lagi,” jelasnya.
Sebelumnya, saat perayaan HUT ke-11 Pondok Pesantren Ora Aji di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Jumat (8/9), Subianto menyatakan masyarakat sudah bisa menerima uang yang dibagikan pasca Pemilu 2024. Menurutnya, uang itu dianggap sebagai uang rakyat.
“Kita harus menjaga kerukunan di antara kita. Kita juga harus menjaga perdamaian, dan seperti yang dikatakan Gus Miftah, kalau ada yang membagi-bagikan uang, terima saja. Itu juga uang rakyat. Itu uang rakyat,” kata Subianto.
“Kalau disalurkan, terima saja. Namun ikuti kata hati (dan) pilihlah siapa yang menurut Anda paling baik untuk bangsa, rakyat, dan anak-anak Anda,” tandasnya.
Pada 14 Juli 2023, KPK resmi meluncurkan kampanye “Kalahkan Politik Uang” untuk mengajak masyarakat menolak, menghindari, dan melindungi diri dari godaan politik uang menjelang Pemilu 2024.
Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan perayaan demokrasi adalah ajang rakyat. Melalui pemilu 2024, masyarakat akan memilih dan menentukan nasibnya untuk lima tahun ke depan, tegasnya.
Pemimpin terpilih dari pemilu merupakan representasi aspirasi masyarakat terhadap perubahan, keadilan, dan kesejahteraan bagi semua orang.
Sementara itu, kajian Fakultas Ilmu Sosial Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menunjukkan bahwa praktik politik uang sudah menjadi budaya dan mengkonstruksi proses demokrasi.
Akibatnya, biaya politik membengkak sehingga menimbulkan celah rentan bagi peserta pemilu untuk “bermain kotor” dengan mencari sumber dana ilegal.
Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terkait Pemilu 2019 mencatat 47,7 persen masyarakat membenarkan adanya politik uang, sedangkan 46,7 persen menyatakan politik uang wajar.
Sungguh ironis karena jika sosok terpilih tidak memiliki integritas, besar kemungkinan kebijakan yang diambil akan jauh dari harapan masyarakat.
Lebih lanjut, kajian KPK mengenai politik uang menyebutkan 72 persen pemilih menerima politik uang. Jika dianalisa lebih lanjut, 82 persen penerimanya adalah perempuan berusia di atas 35 tahun.
Berdasarkan kajian KPK, faktor ekonomi, tekanan pihak lain, sikap permisif terhadap sanksi, dan ketidaktahuan mengenai politik uang menjadi alasan utama perempuan menerima politik uang.