Para pemerhati lingkungan telah mendesak pihak berwenang untuk konsisten dan menyeluruh dalam mengambil tindakan hukum terhadap orang-orang dan bisnis yang berkontribusi terhadap polusi udara di Jakarta, seiring dengan upaya Kementerian Lingkungan Hidup untuk menangkap tersangka dan menutup pabrik-pabrik yang terkait dengan memburuknya kualitas udara di kota tersebut.
Penyidik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menangkap empat orang pekan lalu atas dugaan pembakaran terbuka limbah beracun dan berbahaya secara ilegal di Kabupaten Tangerang, Banten.
“Para tersangka membakar limbah elektronik secara ilegal, yang tidak hanya berkontribusi terhadap polusi udara di Jabodetabek, tetapi juga membahayakan kesehatan masyarakat,” kata Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian, Rasio Ridho Sani, dalam pernyataannya baru-baru ini.
Tim kementerian menemukan bahwa pembakaran ilegal telah menyebabkan tingginya kadar PM10, atau partikel kasar, dan PM2.5, atau partikel halus, yang keduanya dapat terhirup dan menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan. Emisi yang dihasilkan oleh api juga mengandung bifenil poliklorinasi yang bersifat karsinogenik.
Penyidik mendakwa mereka melanggar empat pasal Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tahun 2009, termasuk ketentuan yang melarang tindakan apa pun yang dapat memperburuk kualitas udara, dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda hingga Rp 10 miliar (US$653.680). ).
Sebelumnya, Kementerian menutup pabrik peleburan tembaga milik PT XLI di Tangerang, Banten dan menangkap direktur utama pabrik tersebut karena mengimpor limbah beracun dan membuangnya tanpa diolah. Direktur Utama yang diketahui berinisial BSS ini terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 15 miliar.
Tim penegak hukum juga menutup operasional empat perusahaan lain yang aktivitasnya diduga menimbulkan polusi besar di ibu kota.
Kementerian meluncurkan tim beranggotakan 100 personel pada 21 Agustus untuk menyelidiki enam lokasi yang diketahui memiliki konsentrasi kegiatan industri dan dampaknya terhadap memburuknya polusi udara di Jabodetabek.
“Kami berkomitmen akan menindak tegas pelaku kejahatan lingkungan hidup,” kata Rasio.
Konsistensi diperlukan
Pemerintah berupaya keras untuk mengatasi masalah polusi udara di Jabodetabek di tengah protes masyarakat atas memburuknya kualitas udara di wilayah tersebut. Jakarta secara konsisten berada di peringkat 10 kota paling tercemar di dunia sejak bulan Mei, menurut data dari perusahaan teknologi kualitas udara Swiss, IQAir.
Pihak berwenang telah meningkatkan pemeriksaan kendaraan secara acak untuk memastikan kepatuhan terhadap uji emisi, karena mereka menyalahkan musim kemarau yang berkepanjangan dan kendaraan bermesin pembakaran internal sebagai penyebab polusi.
Di sisi lain, para aktivis mengatakan bahwa kabut asap beracun dari pabrik-pabrik dan pembangkit listrik tenaga batu bara di dekat kota tersebut bertanggung jawab atas polusi tersebut, yang telah diabaikan oleh pemerintah.
Aktivis lingkungan hidup, seperti Bondan Andriyano dari Greenpeace Indonesia, merasa skeptis bahwa tindakan penegakan hukum tersebut dapat menimbulkan efek jera, dan mengatakan bahwa konsistensi dan kesetaraan adalah kunci untuk memastikan keberhasilan tindakan tersebut.
“Jangan hanya menangkap orang ketika masalah pencemaran udara sedang ramai diperbincangkan masyarakat,” kata Bondan. “Penting juga untuk tidak sembarangan memilih pabrik mana yang akan ditutup.”
Muhammad Aminullah dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) cabang Jakarta sependapat, dan mengatakan bahwa kementerian hanya memantau sebagian kecil dari seluruh kegiatan industri yang menimbulkan risiko lingkungan yang besar.
Kementerian telah mengeluarkan 3.000 izin lingkungan untuk berbagai industri di Jakarta pada tahun 2021 saja, kata Muhammad. “Tetapi para pejabat mengklaim mereka sedang mengaudit delapan perusahaan. Tentu saja diperlukan upaya yang lebih besar,” ujarnya.
Pihak berwenang harus mempertimbangkan untuk membatasi jumlah izin lingkungan yang dikeluarkan untuk mencegah agar Jabodetabek tidak terlalu terbebani dengan dampak kegiatan industri, tambah Muhammad.
Air hanya memperburuk polusi
Pihak berwenang telah memilih teknik di mana kabut disemprotkan dari gedung-gedung tinggi dan jalan-jalan utama di seluruh kota untuk membersihkan udara dan mengatasi polusi.
Sigit Reliantoro, Direktur Jenderal Masalah Pencemaran dan Lingkungan Kementerian, berpendapat bahwa penyemprotan kabut adalah alternatif skala mikro dibandingkan pendekatan penyemaian awan. Teknologi modifikasi cuaca baru-baru ini tidak terlalu berhasil karena negara ini sedang memasuki musim kemarau, dengan dampak fenomena El Niño yang sedang melanda.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya mengirimkan mobil pemadam kebakaran untuk menyemprotkan air ke jalan-jalan utama di ibu kota, dengan alasan bahwa hal ini akan menghilangkan debu dan polutan lain yang berkontribusi terhadap polusi udara di kota tersebut.
Namun sebuah penelitian yang diterbitkan di Toxics pada tahun 2021 menemukan bahwa penyemprotan air dalam skala besar ke jalan justru memperburuk polusi, sehingga menghasilkan lebih banyak polutan PM2.5 daripada menghilangkannya. Para penulis, termasuk Fengzhu Tan dari Universitas Kedokteran Hebei, menyelidiki kemanjuran air tersebut
Namun penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kebijakan penyemprotan air dapat memperburuk polusi udara selama musim gugur dan musim dingin dibandingkan pada musim panas.
Dokter paru Erlina Burhan dari Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan mengutip penelitian tersebut dan mengkritik kebijakan penyemprotan air di Jakarta, dengan alasan bahwa penyemprotan air tidak dapat menjangkau semua polutan di udara.
Dia menyarankan agar pihak berwenang fokus pada pendekatan modifikasi cuaca untuk menghilangkan polutan. Namun, itu hanya solusi jangka pendek, kata Erlina seperti dikutip tribunnews.com. “Penting juga untuk mengatasi sumber polusi.”