Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md mengatakan pada pertemuan perdana dengan para eksil politik di Diemen, Belanda, bahwa negara tidak akan meminta maaf kepada para korban pembantaian tahun 1965-66.
“Rezim Orde Baru sudah dipaksa mundur. Jadi kepada siapa kami harus meminta maaf?” kata Mahfud di hadapan puluhan warga Indonesia yang tidak mempunyai kewarganegaraan di luar negeri selama pembersihan antikomunis 1965-1966, pada Minggu, 27 Agustus 2023. “Kami semua menderita di bawah rezim Orde Baru.”
Mahfud dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly membuat sejarah dengan mengadakan pertemuan tatap muka pertama dengan warga Indonesia buangan yang telah tinggal di luar negeri selama lebih dari setengah abad setelah kewarganegaraan mereka dicabut setelah September 1965.
Pernyataan Mahfud itu menjawab pertanyaan Sungkono, seorang pengasingan yang tinggal di Amsterdam. “[Pemerintah sudah mengakui dosa yang begitu besar, kenapa tidak disertai permintaan maaf? Ini permintaan saya,” kata pria berusia 84 tahun yang sedang belajar di Moskow saat kejadian tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Mahfud berkata, “Rezim sudah dihukum, jadi sudah selesai.”
Dalam pertemuan yang berlangsung selama dua jam tersebut, Mahfud mengatakan kunjungannya atas perintah Presiden Joko Widodo untuk membahas kebijakan non-yudisial pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
“Kebijakan ini untuk korban yang ada. Hak konstitusional mereka akan kita penuhi,” ujarnya seraya menambahkan proses peradilan tetap berjalan meski mungkin memakan waktu lebih lama.
Menteri Yasonna meyakinkan pemerintah akan memberikan “perlakuan khusus” kepada para eksil –yang sebagian besar kini memegang paspor negara lain– yang ingin berkunjung ke Indonesia. “Kami akan memberikan visa masuk ganda gratis untuk jangka waktu lima tahun,” katanya. Ia secara simbolis menyerahkan visa tersebut kepada Sri Tunruang, WNI eksil yang menghadiri pertemuan tersebut dari Jerman.
Meski sebagian besar warga pengasingan menyatakan apresiasinya atas kedatangan delegasi pejabat tinggi dari Jakarta, ada pula yang menekankan bahwa para korban membutuhkan lebih dari sekadar “hadiah” seperti visa, kata Sungkono.
Ratna Saptari, ketua Watch 65, sebuah perkumpulan aktivis Indonesia dan pengasingan di Belanda, mengenang bahwa pengalaman para korban tidak pernah menjadi bagian dari sejarah Indonesia. “Apakah mereka benar-benar pengkhianat negara? Koreksi sejarah itu krusial,” tegas Ratna.
Watch 65 juga terlibat dalam mengatur pertemuan antara orang-orang buangan dan para pejabat tinggi.
Mahfud menjelaskan, “Bukan tugas negara menentukan sejarah.” Namun dia meyakinkan pemerintah akan menyediakan dana untuk penelitian sejarah. “Silakan diteliti, baik pro maupun kontranya. Tapi hasilnya bukan pandangan negara,” ujarnya.
Ratusan warga Indonesia – kebanyakan pelajar, diplomat dan utusan pemerintah – yang berada di luar negeri pada saat insiden G30S tahun 1965 telah dicabut kewarganegaraannya. Mereka yang dianggap simpatisan sayap kiri atau tidak setia pada rezim Orde Baru kehilangan paspornya.
Awal tahun ini, Presiden Jokowi secara resmi menyatakan penyesalannya atas 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk pembantaian tahun 1965-66.
“Saya bersimpati dan empati kepada para korban dan keluarganya. Jadi saya dan pemerintah akan memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana, tanpa meniadakan penyelesaian di pengadilan,” kata Jokowi saat berpidato di Istana Negara Jakarta, Rabu, 11 Januari 2023.